Duhai Ibu, Sabdamu Surga Neraka Baginya


BANDUNG—Balik Ka Indung (Kembali Kepada Ibu)
Terminal Baranangsiang; 07.29 pagi – Hari kepulangan penuh drama!
Pagi buta tetiba diguyur gerimis lokal (literally) menjelang kepergian dari kos lah. Abang gr*bcar mendadak nyasar ke pinggir sawah lah karena doi salah masuk gang; yang akhirnya terpaksa saya tongkrongin di pintu gerbang depan. Dan sekarang? Bus biru pola-pola yang ngetem lama pake banget ini (saya aja sih yang nggak sabaran, emang jadwal berangkatnya per satu jam) ikut menambah daftar mood-spoiler  hari kepulangan saya ke Bandung. Huhu. Kenapa sih? Kalian sedih saya tinggal pulang? *plak!
Sejujurnya pagi itu saya bête. Bêtee banget! Apalagi setelah Iyu (namanya masuk blog teteh ni Yu, siap-siap terkenal ya 😂)—teman seperjalanan gr*b, ngasih kabar menyakitkan kalau bis yang dia tumpangi udah di tol. Makin deh... baper! Tapi mau bagaimana lagi?
Protes ke sopir suruh jalan, bisa-bisa saya yang disuruh turun. Mana di luar hujan makin deres. Nunggu sambil minum air biar nggak bosen, itu juga bukan solusi. Apalagi kebayang nightmare tiba-tiba ada tragedi billboard jatuh di tengah tol seperti tempo hari. Hiyyy.. Buka aplikasi HP? Sayang batre, susah nanti kalau nelpon minta jemput.

Mencoba berdamai dengan situasi dan suasana hati, setelah liat-liat sekeliling dan senyum jebeng kiri kanan dua senti, saya putuskan untuk tidur saja. Wis, gapapa Er. Berdasarkan pengalaman, bila terjadi hal-hal tak mengenakan biasanya sih selalu ada hikmah di balik kejadian. Termasuk urusan bus ngetem ini, hibur batin.
Dan pagi itu, alih-alih kesal entah kenapa saya tetiba excited sendiri, menanti, kira-kira keajaiban dan hikmah macam apa yang akan saya peroleh dalam perjalanan.
--
Iya udah.
Baik-baik ya, harus nurut.
Inget shalat.
Laki-laki jangan cengeng, udah sana. 
Sayup-sayup potongan percakapan itu terdengar. Perlu beberapa puluh detik untuk memastikan dialog tadi berasal dari alam nyata, bukan mimpi seorang Erna yang sempat bête. Dari sudut mata, saya dapati sebuah kardus berukuran sedang ditumpuk tas kain besar terapit diantara kaki yang terduduk kepayahan, mencari ruang.
Saya baru akan bertanya untuk menawarkan bantuan (geser kardus) saat suara tangisan memecah erungan mesin mobil. Lima detik. Sepuluh detik. Dua belas detik. Lah kok nangisnya makin kenceng? Dan anehnya, nggak ada seorang penumpang pun yang ngeh kalau ada perempuan di dalam bus yang nangis kenceng sampai terisak-isak begitu. Ini saya yang terlalu baper atau para penumpang yang kurang peka, sih?
Setelah berhitung dengan situasi, saya putuskan untuk mengangkat kepala yang sedari tadi tertumpu ke punggung jok depan. Mengamati lamat-lamat sosok ibu di kursi samping, sebelum bertanya. Bergo lebar warna toska telah dipenuhi bercak basah bulat-bulat disana-sini. Wajahnya tak jelas, terkubur diantara lipatan kain jilbab yang digunakannya untuk menyeka air mata. Ragu, perlahan saya usap lengannya.
‘Ibu.. kenapa..?’ 
Ia menoleh sesaat. Mengusap mata cepat-cepat. Mencoba mengatur napas sebelum akhirnya menjawab terpatah.
‘Enggak.. ap-a.. ap-a, Neng.’ Balasnya tersedu. Saya hanya mengulum senyum. Kembali mengusap lengannya pelan.
‘Barusan, ha-bis.. nganter.. a-nak Ibu. Dikasihkan, ke orang.. la-in. dirawat.’ Seberapa pun mencoba tegar, suara itu tetap saja tak bisa berbohong. Saya tatap matanya dalam, menyimak setiap kata yang ia tuturkan, saya balas dengan anggukan ringan, sesekali senyum mengiyakan. Dan cerita itu pun mengalir dengan sendirinya.  
Rupanya sang ibu baru saja menyerahkan lelaki bungsu kesayangannya kepada seorang kaya di salah satu komplek perumahan bergengsi di Bogor. Putra beliau, sebut saja namanya Badi (15 tahun) adalah anak terakhir dari enam bersaudara. Semua kakaknya perempuan dan telah hidup berkeluarga. Menjadi satu-satunya anak lelaki dengan umur terpaut jauh dari saudara yang lain pastilah tidak mudah bagi Badi. Ditambah lagi dengan beban himpitan ekonomi dari seorang ibu rumah tangga dan ayah seorang pensiunan.  
Tapi masalah Badi dan sang ibu dalam kisah ini, tidaklah sesederhana itu.
‘Udah tiga hari anak Ibu koma, Neng. Malah dikabarkan udah meninggal. Ibu bingung.. ni anak kenapa nggak pulang-pulang udah dua bulan. Tahu-tahu beritanya udah banyak di facebook. Ibu tahu juga dari tetangga-tetangga. Ini Badi anaknya si anu. Tapi saya nggak mau percaya, Neng. Nggak mungkin itu anak saya. Bapaknya udah tahu, tapi sengaja nggak ngasih kabar takut saya shock. Dia (suami) nggak bilang apa-apa. Hanya tiba-tiba sering shalat aja. Ngaji yasin sampai tujuh balikan setiap hari.’
‘Ayahnya baru ngasih tahu setelah hari kedua koma. Tapi dia hanya bilang, barangkali benar kalau itu Badi, Ibu tolong bantu doa.’
‘Saya khawatir, Neng. Saya takut. Saya juga punya firasat kalau anak yang di facebook itu memang Badi, tapi saya nggak mau percaya. Saya hanya berdoa dan terus berdoa kepada Allah supaya mengembalikan Badi ke saya.’
‘Tetangga-tetangga sampai pada datang ke rumah bawa beras, makanan, ngelayat. Dikiranya anak saya udah meninggal. Tapi saya nggak mau percaya, Neng. Saya yakin anak saya masih hidup dan akan kembali pulang ke rumah. Saya terus memohon sama Allah, shalat, dzikir, ngaji, berdoa terus supaya Badi dikembalikan. Saya belum siap kalau anak saya meninggal karena saya belum rawat dia baik-baik. Saya berjanji sama Allah, saya akan menjaganya baik-baik kalau Badi dikembalikan dalam keadaan sehat (lagi).’      
‘Maaf Ibu.., sergah saya, hati-hati. 'Kalau boleh tahu, sebab komanya kenapa ya?’
‘O-Obat, Neng.’ Balasnya setengah berbisik. ‘Dicekokin sama temen-temennya, dipaksa.’
 ‘Anak punk.’ Jawabnya, seolah bisa menebak rasa penasaran yang menggelayut jelas di wajah saya. 
‘Tapi anak saya nggak aneh-aneh, Neng. Rambutnya biasa nggak aneh diwarna-warna, nggak dianting atau tindik. Paling celananya aja yang agak bolong-bolong, sama ngerokok. Yang lainnya enggak. Dia masih suka nurut sama saya juga, dengerin kata ibunya, sering pulang ke rumah, sampai itu aja.. dua bulan.. du—’ tangis itu kembali pecah. Terpatah ia berusaha menyelesaikan kalimatnya.
‘Du.. du-a bulan anak saya nggak pulang setelah terakhir pamit mau nganter temen punk-nya yang perempuan. Dan tahu-tahu tetangga datang ngelayat ke rumah, bilang.. bilang.. kalau Badi udah meninggal..’
‘Tapi saya nggak percaya. Saya nggak lihat jasadnya,’ irama napasnya saling berburu.
‘Saya berdoa, berdoa, dan terus berdoa kepada Allah. Dia sumber segala kekuatan dan kepasrahan. Saya nggak peduli orang bilang bilang anak saya koma atau meninggal. Saya nggak percaya dengan berita-berita di facebook. Saya hanya tahu kalau Allah maha Mendengar doa hambaNya. Saya hanya tahu kalau doa seorang ibu untuk anaknya adalah doa yang tidak pernah tertolak.‘
‘Dan benar, Neng. Allah menjawab doa-doa saya. Sore itu, dari ujung pintu, Badi tiba-tiba memanggil-manggil nama saya. Antara mimpi dan nyata, piring yang saya pegang sampai jatuh ke lantai. “Ini benar Badi, Nak..? Badi anak ibu? Anak bungsu ibu?” Saya usap rambutnya, pipinya, dan benar itu Badi. Sehat, bersih, rapi.. dan masih hidup!  Dia ciumi kaki saya, Neng. Minta maaf berkali-kali. Ayahnya di samping sampai sujud berkali-kali,
Bulir-bulir bening mengalir deras dari ujung mata, tapi bukan mata si ibu. Hari itu saya baru tahu, bahwa sehelai masker nyatanya tidak mampu menutupi kehalusan rasa manusia. Semakin saya paksa berhenti, semakin panas mata ini terasa.  
‘Alhamdulillah.. Allah mengabulkan doa saya, doa kami. Allah kembalikan Badi dalam keadaan sehat dan baik. Saya telah berjanji kepada Allah untuk menjaganya dengan baik,’ senyum pertamanya sejak bertemu saya, mulai terulas. Tulus sekali. Pandangannya jauh ke luar jendela, menerawang langit mendung di atas sana.
'Lalu..,' saya mengangkat alis, ‘Kalau ibu berjanji, lantas kenapa ibu malah—?’
‘—menyerahkan Badi kepada keluarga angkat yang tepat, adalah bentuk ikhtiar kami dalam menjaganya. Dan saya harus ikhlas..—’ suara paraunya tercekat oleh jemari yang teremas frustasi, dan telapak kanan yang menepuk-nepuk dada kiri.
‘Saya ikhlas.. saya harus ikhlas..’ setengah meraung, memukul-mukul dada.    
Saya lingkarkan kedua lengan ke atas pundaknya, memeluknya erat. Erat sekali.
Rabbana, bilamanakah menyerahkan buah hati kepada orang lain akan menjadi ikhtiar terbaik bagi seorang ibu?

Sumber gambar: liputan6.com

‘Ini adalah usaha terbaik saya untuk menjaga Badi.’
‘Kalau dia tetap di rumah, teman-temannya akan datang dan mengajaknya lagi. Saya.. saya tidak sanggup membayangkan kalau kejadian ini sampai terulang. Tidak untuk anak saya, Badi.’
--

Badi, baik-baik disini ya, Nak. Harus nurut sama ayah dan ibu yang baru.
Inget shalat sama ngaji.                                      
Nggak boleh nangis, anak laki-laki jangan cengeng. Anter ibu sampai sini aja. Udah sana, gapapa. Ibu nggak akan nangis. 


**
Ibu, adakah perjuangan manusia di muka bumi ini yang bisa lebih besar dari seorang ibu?  
Wallahi, andai saat itu saya berdiri di hadapan mama, ingin sekali sujud bersimpuh menciumi telapak kakinya.   

Anak saya salah gaul, Neng. Anak remaja biasa, kepengen motor atau apa mungkin liat temen-temennya, malu. Kabur dari pesantren. Curhat sama orang di jalan dan kebetulan orangnya salah jadi lah anak saya kebawa-bawa. Diajak nongkrong di jalan, ngamen, dll. Sebetulnya anak saya baik, tapi karena salah teman itu. Sampai terakhir pulang habis koma itu, di lengannya udah ada tato besar, Neng.
Konsen saya: status ‘Anak baik’ itu tidak cukup jadi tameng bagi orangtua untuk melonggarkan pergaulan. Dan indikator baik itu sendiri apa sih? Dear ayah-bunda, kalau kita punya patokan ‘jelek’ untuk sesuatu, berarti kita juga seharusnya punya patokan ‘baik’ atas sesuatu, bukan?  Batasannya harus jelas, biar nggak kecolongan sama perilaku dan pergaulan anak. Orangtua dan keluarga inti harus banget jadi pakem utama, kudu banget jadi muara pertama bagi seorang anak *nasihatin diri sendiri pisan ini mah.    

Tapi mereka (anak punk) memang baik sih, Neng. Nyamper ke rumah Badi, bawa makanan minuman, makan bareng-bareng, berbagi walaupun sedikit-sedikit.
What I thought: Jangan-jangan slogan ‘makan nggak makan ngumpul’ itu motonya anak punk ya? *eh.
Terlepas dari asas samarasa samarata yang dianut teman-teman punk, *ini juga kamu sotoy, Er* Saya nggak mau berspekulasi lebih jauh karena saya juga tidak tahu persis bagaimana dunia per-punk-an ini. Saya tidak mau jadi bagian kelompok orang yang mengeneralisasi, mencap dan men-judge bahwa anak punk begini dan begitu, tanpa saya paham pilihan apa yang mereka punya.
Sedih sih kalau lihat kulit perilaku dan keseharian mereka di jalan-jalan, terutama kota besar. Anting bulat besar melambainya, tindiknya, rambut warna-warninya, celana bolong sobeknya, tatonya.. subhanallah. Belum lagi laku kasarnya kalau malak habis ngamen di angkot. Itu yang kelihatan dan kita tahu. Yang tersembunyi dan tidak kita tahu? Allahu ‘alam. Lebih banyak lagi mungkin.
Topik seperti ini pun tak pernah secara sengaja saya angkat untuk menjadi bahan diskusi untuk kemudian dicarikan solusinya. Kecuali saat saya mengalami dikasarin orang punk (sejauh ini sih Alhamdulillah nggak pernah), mungkin baru ramai diperbincangkan. Itu pun untuk konten opini yang pasti jauh lebih memberatkan si punkers.  
Alhasil? Pandangan kita terhadap mereka dipaksa menjadi sama-punkers itu jahat, sampah masyarakat.
Kita sadar nggak sih kalau selama ini kita hanya fokus pada pertanyaan bagaimana ‘membasmi’ punkers *ini juga kamu sotoy lagi, pake banget malah* alih-alih bertanya kenapa punkers itu bisa muncul dan bagaimana mengarahkan atau memberdayakan mereka?
Jika bergaya aneh eksentrik itu menjadi ciri khas mereka untuk mencari perhatian, tidakkah kita terpikir bahwa mereka sebetulnya butuh diperhatikan?
Mungkin Badi hanyalah satu diantara ribuan Badi lainnya di negeri ini. Barangkali korban broken home. Korban lingkungan sosial yang tidak ramah. Korban lingkungan sekolah yang penuh bully. Korban kerasnya himpitan ekonomi. Dan lain-lain. Who knows?
Men judge anak punk itu mungkin (mungkin loh ya) seperti kayak.. kita bilang kalau anak kita nakal karena tantrum tanpa bertanya/ menelisik lebih jauh kenapa dia tantrum. Langsung treatment aja, jewer. Pukul.
Punk juga begitu. Kita tidak pernah mau berinisiatif membuka dialog dengan mereka, mencoba ‘menyentuh’ hatinya, memetakan keinginan/tuntutannya tiba-tiba treatment aja. Tangkap. Cap. Jauhi. Musuhi. Ya susah, makin besar gap-nya nanti.
Emang kamu mau, Er, turun langsung ke jalan untuk dialog sia-sia dengan mereka?
Isu punk ini bukan hanya masalah saya dan Anda, tapi kita semua. Dan hey, bagian mana yang anda sebut sia-sia? Kita belum pernah mencoba, kan? Kalau saya sih selalu yakin, bahwa akar kunci dari segala permasalahan antarmanusia terletak pada KO-MU-NI-KA-SI. Dan segala sesuatu yang disampaikan dari hati, akan sampai ke hati, biidznillah. Jadi kenapa harus pesimis? Sekarang saya tanya balik, kamu mau nggak turun merangkul mereka? Takut yaa..?
Oh, mau? Yuk bareng-bareng buat komunitas!
Kalau kita sepakat melabeli punkers itu sesat perilakunya, hayuk kita berusaha mengajak mereka untuk taubat. Ngajak ngaji, ngasih penyuluhan, pelatihan dlsb. Mereka sama makhluk Tuhan, kan? Punya hak sama terhadap dakwah, kan? *yang ini jangan bilang-bilang punkers-nya  dulu tapi ya, bisi kabur*

Walaupun anak saya begitu (kebawa-bawa punk, perilakunya aneh-aneh, kabur dari pesantren, dll), durhaka kata orang-orang, tapi saya nggak pernah mendoakan anak saya yang jelek-jelek, Neng. Saya takut doa saya diijabah, sementara anak itu adalah titipan Allah. Baik buruknya adalah tanggung jawab saya sebagai orangtua. Makanya Neng nanti kalau jadi orangtua, jangan.. jangan sekali-kali doakan yang jelek kepada anak. Sekesal apapun. Semarah apapun. Doa ibu adalah surga neraka bagi anak-anaknya.
Anak yang secara medis divonis wafat lalu dengan ajaibnya kembali ke rumah dalam kondisi sehat walafiyat, kurang keramat apalagi doa ibu?
Untuk pesan terakhir ini, I couldn’t agree more, ibu. Perjuanganmu, lelahmu, ikhlasmu, semoga menjadi penolong di yaumil akhir kelak.
.
.
Alhamdulillah... Terima kasih atas nasihat dan pelajaran hari ini, ya Rabb. Hujan deras, telat berangkat, g*ab nyasar, bus yang ngetem, ibu yang nangis. Selalu ada hikmah di setiap kejadian.

وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّـهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ.

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).

 **

P.S: Di akhir sebelum berpisah di terminal, kami sempat bertukar alamat tinggal. Barangkali suatu saat bisa silaturrahim. Dan kebetulan saya juga belum pernah berkunjung ke kotanya si ibu supermom ini.

Ada yang tertarik ikut silaturrahim ke sana 😊?



Jumat, 24 Januari 2018
From Bogor to Bandung
_Pengamat kehidupan

Comments

Popular posts from this blog

Perempuan Indonesia di Mata Laki-laki Turki

Hati-hati dengan (kriteria) Pria Turki !

MashaAllah ala Turki vs Indonesia

Wanita Turki

Lelaki Turki